Thursday, February 23, 2006

Nasi Kucing

When I Say That I Love You - Franky Sihombing played ON

Hhhh… udah beberapa hari ini gue gak nulis apa-apa di blog gue. Bukan gak ada bahan tulisan, tapi lagi gak sempet karena tumpukan kerjaan kantor yang udah kayak tumpukan sampah (apa emang sampah kali ya :)). Baru deh sekarang bisa nulis lagi…

Emmm 3 hari kebelakang benar-benar hari-hari yang melelahkan buat gue. Capek badan, capek pikiran dan capek hati. Hmm, what wrong buddy? Yah, selama 3 hari kebelakang bener-bener gue "fight" sama yang namanya kerjaan. Belum lagi disuruh ke remote site kantor di bilangan Menteng, musti tulis report (pake acara salah pulak… huh!), dikerjain orang, diomelin boss. Malemnya ada janjian sama teman u/ pemesanan komputer. Musti presentasi ke orang tentang proses pembelian kredit laptop. Damn. What a days! Benar-benar suck! Gak betah lama-lama rasanya di kantor. Menyebalkan. Ya sudah, daripada tambah be-te mendingan meluncur pulang ah…

Dengan ditemani sang "Macan" keluaran tahun 1997 yang masih kinclong (ehem…), kali ini tanpa ditemani seorang teman yang biasa nyemplak di jog belakang (siapa nih…) gue telusuri jalan pulang. Setelah sampai di bilangan Cawang, kubelokkan arah sang "Macan" masuk ke daerah Kalimalang. Sisa 11 km itu gue tempuh dengan sisa tenaga yang masih ada. Kira-kira pada pertengahan jalan, gue sempat mampir ke warung kopi yang biasa gue tongkrongin. Warung Hik namanya (kalau orang Jawa pasti tahu deh…). Warung ini nomaden karena pakai gerobak dorong, tapi biasanya dia biasa nge-tem di depan toko yang sudah tutup. Penjualnya bukanlah dari etnis Tionghoa (karena mungkin nama warungnya kali ya…), tetapi asli produk Jawa Tengah. Sajian khas dari warung Hik ini adalah Nasi Kucing. Gue lebih suka menyebutnya Nasi Meong. Kenapa namanya kayak gitu ya? Buat orang Jawa (Tengah), makanan ini sudah gak asing lagi buat kuping. That's right, babe. Nasi Kucing ini identik dengan wong cilik. Penyantap makanan ini rata-rata adalah tukang becak, sopir andong/delman, mahasiswa berkantong cekak, tukang parkir, pedagang, kuli pasar tapi juga gak nutup kemungkinan orang kantoran juga ada koq yang doyan. Gak percaya? Simak tulisan gue di bagian bawah.

Tampilan nasi kucing ini tidaklah menarik. Nasi yang seukuran kepalan orang dewasa dibungkus daun pisang (atau kertas pembungkus nasi) ditemani dengan sambal terasi dan secuil ikan bandeng. Secuil ya, bukan sepotong. Sayang gue gak bawa cam-dig, jadi gak bisa tampilin gambarnya. Di bagian tengah dari gerobak ini terdapat lauk-pauk yang menurut gue seru banget. Disana terhampar koloni-koloni tempe goreng, tempe & tahu bacem, sate paru, sate usus ayam, sate kikil sapi, kepala & ceker ayam goreng. Bagi yang males makan nasi tersedia opsi menu yaitu bihun. Di deretan pelepas dahaga, kita bisa memesan es-teh manis, es-teh tawar, es jeruk, jeruk panas, wedang jahe, jahe susu panas dan yang free of charge adalah air putih :p. Yang terasa "special" buat warung Hik ini adalah - segala jenis koloni lauk pauk diatas bisa kita request untuk dibakar/dipanggang diatas anglo (itu lho semacam tempat yang terbuat dari tembikar dan ditaruhin arang diatasnya). Anglo ini sebenarnya berfungsi u/ memanaskan air, tapi alih-alih bisa multifungsi. Keren kan?

Malam itu karena perut gak begitu lapar, gue pesen "cemilan" yang tergolong agak sedikit berat (bingung nulisnya gimana…). Temen gue ngobrol sesama mania nasi kuning adalah nasi kucing (jelas ini harus dan wajib :p), 2 usus ayam, 1 tempe goreng dan jeruk hangat sebagai pelepas dahaga dan penawar seret. Dari hasil cangkruk malam itu gue mendapatkan suatu pencerahan bahwa hidup itu sangat keras. Perlu perjuangan untuk mendapat uang sekedar penyambung hidup. Sekelompok wong cilik penjual nasi kucing ini santai banget loh ketika gue tanyain "Pak, gak takut ada saingan?. Kan dagangan mulai rame nih". Dengan entengnya dia jawab "Oalah mas, ya nggak tho. Lha wong rejeki itu udah diatur sama Gusti koq. Malah kita seneng koq, nanti kalau pas lebaran kan bisa rame-rame pulangnya sama pedagang yang lain". What? Doi bisa ngomong gitu? Yes, bro/sis. Santai banget kan? Lalu kenapa kita takut gak dapat rejeki kalau Tuhan sudah atur semua. Wah, bakalan panjang deh ceritanya.

Ketika warung Hik mulai rame - terbukti banyak motor yang parkir dan ada beberapa mobil - gue melihat di bagian belakang yang disediain tikar untuk lesehan, ada sekumpulan bapak-bapak separuh baya yang notabene berdasi dan bernostalgia rame-rame makan nasi kucing. Gue pikir nih kumpulan orang Jawa pasti hehehe… Hmm, nasi kucing sudah go public rupanya. Nasi kucing for everyone.

Puas ngobrol (dari politik sampai Indonesian Idol) dan sekedar melepas lelah, gue bayar pesanan makan tadi. Total kerugian Rp. 8000,- Masih sisa 2000 perak dari uang yang kubayarkan. Murah meriah. 3 hari yang melelahkan sedikit terlupakan oleh pengalaman bersama nasi kucing dan koloninya. Special thanks buat nasi kucing. You inspired me.

- cheeseburger -

1 comment:

Himawan Sant said...

Aku juga ngga pernah gengsian nongkrong dan makan di warung nasi kucingan, mas.
Buatku, hidup itu harus seimbang dan dinikmatin ☺ ...
Ada kalanya makan di resto, makan di warung kucingan ya ayook aja ... dibawa seneng aja judulnya 😁

Kalo yang model HIK tau kelilingan begitu, aku belum pernah nyobain.
Jadi penasaran nih, pengin nyobain ...